Time Indonesia – Perundungan atau bullying bukanlah hal baru di dunia pendidikan, tetapi akhir-akhir ini semakin sering menjadi sorotan publik. Di tengah semangat sekolah ramah anak, masih saja muncul kasus siswa yang menjadi korban ejekan, pengucilan, hingga kekerasan fisik oleh teman sebayanya. Ironisnya, banyak pelaku berdalih bahwa semua itu hanyalah candaan. Padahal, candaan yang melukai bukan lagi tawa, melainkan luka sosial yang meninggalkan trauma panjang.
Bullying tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi korban, tetapi juga merusak ekosistem pendidikan secara keseluruhan. Ruang belajar yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya rasa percaya diri, kreativitas, dan semangat justru berubah menjadi ruang ketakutan dan ketidaknyamanan. Menurut data KPAI, sepanjang tahun 2024 tercatat 2.057 pengaduan atas pelanggaran hak anak, di antaranya 241 kasus anak terhambat pendidikan dan pemanfaatan waktu luang termasuk perundungan di satuan pendidikan, serta 240 kasus kekerasan fisik/psikis terhadap anak (KPAI, 2025). Hal ini menunjukkan bahwa masalah perundungan belum mendapatkan perhatian serius yang seharusnya dan membutuhkan penanganan sistematis dari semua pihak.
Lebih menyedihkan lagi, banyak korban memilih diam karena takut atau malu. Mereka merasa tidak akan dipercaya, atau khawatir dianggap lemah oleh teman-temannya. Sementara itu, pelaku perundungan sering kali tumbuh dari lingkungan yang menormalisasi kekerasan. Kalimat seperti “namanya juga anak-anak” atau “cuma bercanda” menjadi pembenaran yang menutup mata terhadap penderitaan orang lain. Dari sinilah budaya membiarkan mulai tumbuh dan memperparah lingkaran kekerasan.
Sekolah memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memastikan bahwa setiap siswanya merasa aman. Pencegahan perundungan tidak bisa berhenti di slogan “Stop bullying,” tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru perlu dibekali kemampuan untuk mengenali tanda-tanda korban perundungan sejak dini. Sementara itu, pelaku perlu mendapatkan sanksi yang mendidik, bukan semata hukuman, agar mereka memahami dampak dari perbuatannya. Orang tua juga harus berperan aktif dengan membangun komunikasi terbuka, menanamkan empati, serta mengawasi perilaku anak di dunia nyata maupun digital.
Selain itu, pemerintah bersama lembaga pendidikan perlu menunjukkan komitmen nyata dalam mencegah kekerasan di lingkungan sekolah. Upaya pencegahan seharusnya tidak berhenti pada seruan moral atau kampanye semata, tetapi diwujudkan dalam tindakan konkret di ruang kelas. Pengawasan harus dilakukan secara berkelanjutan melalui pelatihan guru, pembentukan tim pengawasan internal, serta pelibatan siswa dalam kegiatan yang menumbuhkan empati dan rasa saling menghargai. Dengan begitu, sekolah dapat menjadi tempat yang benar-benar aman dan nyaman bagi semua anak untuk belajar dan berkembang.
Di sisi lain, fenomena cyberbullying kini menjadi tantangan baru dalam dunia pendidikan modern. Media sosial sering kali menjadi ruang perundungan digital yang lebih kejam, karena pelaku dapat menyerang tanpa batas waktu dan tempat. Korban bukan hanya menderita secara psikologis, tetapi juga bisa mengalami gangguan sosial dan akademik akibat tekanan di dunia maya. Oleh karena itu, literasi digital harus ditanamkan sejak dini agar siswa memahami batasan etika dalam berinteraksi di ruang daring. Mendidik anak untuk berpikir sebelum mengunggah sesuatu merupakan bentuk pencegahan yang efektif dalam mengurangi kekerasan digital.
Namun, upaya pemberantasan perundungan tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah semata. Masyarakat dan orang tua pun berperan penting dalam membangun karakter anak yang empatik, menghargai perbedaan, dan menolak kekerasan dalam bentuk apa pun. Ketika kita membiarkan satu tindakan kekerasan kecil tanpa teguran, sebenarnya kita turut menumbuhkan keberanian bagi kekerasan yang lebih besar untuk muncul. Karena itu, penting bagi seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan lingkungan sosial yang sehat, penuh dukungan, dan berani menolak segala bentuk kekerasan sekecil apa pun. Perubahan harus dimulai dari keluarga, lingkungan sekitar, hingga lembaga pendidikan yang berperan membentuk kepribadian generasi muda.
Perubahan sosial tidak akan hadir hanya melalui kampanye atau slogan. Hal itu menuntut keberanian untuk bertindak, berbicara, dan tidak diam saat melihat ketidakadilan di sekitar kita. Karena menghentikan perundungan bukan sekadar tugas, melainkan tanggung jawab kemanusiaan.
Selain itu, penting bagi generasi muda untuk belajar mengelola emosi dan menghargai perbedaan sejak dini. Pendidikan karakter harus menjadi pondasi utama yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga emosional dan sosial. Dengan begitu, siswa tidak hanya pintar secara akademik, melainkan juga memiliki kepekaan terhadap sesama dan mampu membangun hubungan sosial yang sehat. Mengajarkan empati, rasa hormat, dan keberanian untuk menolak kekerasan merupakan investasi jangka panjang bagi terbentuknya generasi yang beradab dan berperikemanusiaan.
Membangun lingkungan sekolah yang bebas perundungan memang bukan hal mudah, tetapi bukan berarti mustahil. Perubahan dapat dimulai dari langkah kecil, seperti menegur teman yang bersikap kasar, menolong korban, atau melaporkan kasus perundungan kepada pihak yang berwenang. Jika setiap individu berani bersuara dan peduli, maka perlahan budaya kekerasan akan tergantikan oleh budaya empati dan saling menghargai.
“Perubahan butuh keberanian, bukan penundaan.
Berani bertindak, hentikan perundungan.”
Deniswa Qomarsha, Aurelliya Fadilah Hanysyah Putri, Syafida Damayanti Putri, Yuyun Setyawati, Jasmine Damayanti, Luluk Ulfa Hasanah
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
#StopBullying
#SekolahAman
#LawanPerundungan
#PeduliAnak
#PendidikanTanpaKekerasan












