Nasional

Performa Paten Indonesia: Cermin Kemajuan atau Kemunduran?

598
×

Performa Paten Indonesia: Cermin Kemajuan atau Kemunduran?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Lailatul Farochah, S.H.

Inovasi yang Masih Setengah Jalan

Dalam era ekonomi berbasis pengetahuan, paten sering disebut sebagai “cermin” kemajuan suatu bangsa. Semakin banyak penemuan yang dipatenkan, semakin tinggi pula kemampuan suatu negara menciptakan teknologi dan inovasi baru. Namun, pertanyaan pentingnya: apakah meningkatnya jumlah paten di Indonesia benar-benar mencerminkan kemajuan, atau justru menutupi kenyataan bahwa kita masih tertinggal?

Data dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, jumlah permohonan paten di Indonesia terus meningkat. Pada 2023, tercatat lebih dari 11.000 permohonan paten, naik signifikan dibandingkan tahun 2018 yang hanya sekitar 8.000 permohonan. Sekilas, angka ini tampak menjanjikan. Tetapi jika ditelusuri lebih dalam, sekitar tiga perempatnya diajukan oleh pihak asing, terutama dari Jepang, Amerika Serikat, dan Korea Selatan.

Angka tersebut menandakan bahwa meski kesadaran terhadap pentingnya perlindungan kekayaan intelektual meningkat, kemampuan inovasi domestik masih lemah. Indonesia masih lebih banyak menjadi konsumen teknologi daripada pencipta teknologi.

Mengapa Paten Begitu Penting?

Paten bukan sekadar hak hukum, melainkan sarana untuk menggerakkan ekonomi berbasis inovasi. Dengan paten, seorang penemu memiliki hak eksklusif untuk menggunakan, menjual, atau melisensikan temuannya dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya jelas: memberi penghargaan dan insentif ekonomi bagi kreativitas manusia.

Bagi negara, sistem paten yang sehat dapat menarik investasi, meningkatkan daya saing industri, dan memperkuat posisi dalam perdagangan global. Tidak heran jika negara-negara maju berlomba-lomba memperkuat sistem perlindungan patennya, sekaligus mendorong riset dan pengembangan (research and development atau R&D).

Sayangnya, di Indonesia, semangat tersebut belum sepenuhnya terwujud. Banyak peneliti yang memiliki ide brilian, tetapi tidak melanjutkannya hingga tahap komersialisasi. Sebagian besar penelitian berhenti di ruang laboratorium atau hanya berakhir sebagai publikasi ilmiah tanpa manfaat ekonomi nyata.

Tantangan Utama: Dari Dana Riset hingga Birokrasi

Ada sejumlah kendala yang menghambat perkembangan paten di Indonesia:

Dana Riset yang Minim

Pemerintah hanya mengalokasikan sekitar 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk riset dan pengembangan. Angka ini jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura (2,2%) dan Malaysia (1,4%). Akibatnya, inovasi sulit tumbuh karena kurangnya dukungan finansial untuk penelitian yang berorientasi produk.

Proses Pendaftaran yang Lambat

Rata-rata waktu penyelesaian permohonan paten di Indonesia masih 3–5 tahun. Dengan jumlah pemeriksa paten yang terbatas—sekitar 200 orang—beban administrasi menjadi sangat tinggi. Meski pemerintah sudah meluncurkan sistem digital seperti e-paten, efisiensinya belum sepenuhnya dirasakan masyarakat.

Keterputusan antara Riset dan Industri

Banyak hasil riset dari perguruan tinggi yang tidak nyambung dengan kebutuhan industri. Tanpa kolaborasi antara dunia akademik, pemerintah, dan sektor swasta (yang sering disebut triple helix collaboration), hasil riset sulit diwujudkan menjadi produk yang bisa dipasarkan.

Kesadaran Publik yang Rendah

Sebagian peneliti dan pelaku usaha masih menganggap paten sekadar formalitas hukum. Padahal, di banyak negara, portofolio paten menjadi aset penting untuk menarik investor dan membangun reputasi perusahaan.

Tanda-Tanda Positif Mulai Terlihat

Meski menghadapi banyak hambatan, bukan berarti masa depan paten Indonesia suram. Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran terhadap pentingnya hak kekayaan intelektual mulai tumbuh.

Banyak perguruan tinggi kini membentuk Technology Transfer Office (TTO), merupakan lembaga khusus yang membantu dosen dan mahasiswa mengurus hak paten, sekaligus mencari peluang kerja sama dengan industri. Pemerintah pun telah menggagas kerja sama internasional seperti Patent Prosecution Highway (PPH) dengan Jepang dan Korea Selatan untuk mempercepat proses pemeriksaan paten.

Selain itu, sejumlah startup teknologi lokal mulai menaruh perhatian serius pada perlindungan inovasi. Fenomena ini menjadi sinyal bahwa generasi muda mulai melihat paten bukan sebagai beban administratif, tetapi sebagai modal bisnis masa depan.

Maju Secara Angka, Mundur Secara Kualitas

Jika performa paten Indonesia diukur dari jumlah permohonan, maka kita bisa berkata bahwa kita maju. Namun, jika dilihat dari kualitas dan nilai ekonomi invensi yang dihasilkan, kenyataannya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Sebagian besar paten domestik tidak berlanjut ke tahap produksi massal atau lisensi komersial. Padahal, esensi dari paten bukan sekadar perlindungan hukum, melainkan bagaimana hasil inovasi itu bisa memberikan nilai tambah ekonomi dan sosial bagi masyarakat.

Dalam konteks ini, performa paten Indonesia dapat digambarkan sebagai “maju di atas kertas, tapi mundur di lapangan”.

Langkah Menuju Perubahan

Untuk menjadikan paten sebagai tolok ukur kemajuan nyata, beberapa langkah strategis perlu dilakukan:

Meningkatkan pendanaan riset dan memberikan insentif bagi inventor yang berhasil mematenkan temuannya.

Mempercepat proses administrasi dan memperbanyak tenaga pemeriksa paten agar pelayanan lebih efisien.

Mendorong kerja sama lintas sektor, terutama antara universitas, industri, dan pemerintah, agar hasil riset lebih relevan dengan kebutuhan pasar.

Membangun budaya menghargai inovasi di masyarakat, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Paten seharusnya tidak hanya menjadi simbol legalitas, tetapi juga menjadi pendorong ekonomi kreatif, teknologi hijau, dan kemandirian bangsa.

Penutup

Paten adalah cermin. Dari cermin itu, kita bisa melihat sejauh mana bangsa ini menghargai ide, pengetahuan, dan kreativitas. Indonesia memang sudah melangkah, tapi langkahnya masih pelan dan belum mantap.

Tantangan ke depan bukan hanya memperbanyak jumlah paten, melainkan memastikan setiap paten membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Saat riset kampus bisa bertemu dengan kebutuhan industri, saat penemu lokal dilindungi dan diberi ruang berkembang, saat itulah performa paten Indonesia bisa benar-benar disebut maju, bukan hanya dalam angka tetapi dalam makna.

Artikel ini ditulis oleh Lailatul Farochah, S.H., peneliti hukum dan pemerhati isu kekayaan intelektual.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *