Time Indonesia – Di sebuah siang yang sedikit mendung di Jakarta, suasana di Gedung Kementerian Keuangan terasa lebih sibuk dari biasanya. Di aula mezzanine, gedung Djuanda deretan kamera terpajang rapi, jurnalis-jurnalis muda mengetik cepat, sementara sejumlah awak media senior—yang rambutnya mulai dipenuhi uban—mengamati layar laptop mereka dengan fokus.
Ruangan itu seolah memantulkan satu pertanyaan besar: Bagaimana kondisi APBN Kita di tengah ketidakpastian dunia?
Beberapa menit kemudian, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memasuki ruangan dengan langkah pasti. Para jurnalis merapat, recorder menyala, dan hening sesaat menyelimuti ruangan sebelum angka yang ditunggu-tunggu akhirnya diumumkan.
Dengan map laporan setebal beberapa sentimeter di tangan, ia tersenyum tipis sebelum membuka konferensi pers. Dan dari sanalah cerita angka-angka besar itu dimulai—angka yang merekam denyut ekonomi sebuah bangsa.
“APBN kita dikelola dengan hati-hati, prudent, dan tetap disiplin,” kata Purbaya membuka paparannya dalam konferensi pers APBN Kita di Jakarta, Kamis (20/11/2025).
Kalimat singkat itu bukan sekadar retorika. Di baliknya, ada realitas dunia yang masih bergejolak: perlambatan ekonomi global, tensi geopolitik yang meningkat, dan harga komoditas yang tidak stabil. Di tengah kompleksitas tersebut, APBN menjadi jangkar ekonomi yang menyeimbangkan perlindungan masyarakat dan percepatan pembangunan.
Per 31 Oktober 2025, negara telah mengumpulkan pendapatan sebesar Rp2.113,3 triliun, atau 73,7 persen dari target dalam outlook APBN. Angka ini menjadi salah satu indikator penting bahwa mesin fiskal masih bergerak dengan baik.
Di antaranya, penerimaan pajak—mesin utama pendapatan negara—menyumbang Rp1.708,3 triliun, setara 71,6 persen dari target. Pajak tetap menjadi andalan, mencerminkan aktivitas ekonomi yang tumbuh, meski tekanan global tidak ringan.
Lalu ada kabar baik lain: Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai 84,3 persen dari target atau Rp402,4 triliun.
“Realisasi PNBP tahun ini bahkan sudah melampaui capaian tahun 2024,” ujar Purbaya, menandai keberhasilan negara mengoptimalkan potensi non-pajak seperti sumber daya alam, layanan pemerintah, hingga dividen BUMN.
Belanja Negara
Jika pendapatan adalah darah, maka belanja adalah jantung APBN. Ia mendorong roda ekonomi, menjaga keseimbangan, dan memastikan program pemerintah sampai ke publik. Hingga akhir Oktober, negara telah membelanjakan Rp2.593,0 triliun atau 73,5 persen dari outlook.
Belanja pemerintah pusat menyerap Rp1.879,6 triliun, sementara transfer ke daerah mencapai Rp713,4 triliun.
“Belanja ini diprioritaskan untuk menjaga daya beli masyarakat, mendukung infrastruktur, dan mengawal reformasi struktural,” jelas Purbaya.
Di balik angka itu, terdapat wajah-wajah nyata: para pekerja yang terbantu upahnya lewat pembangunan infrastruktur, keluarga yang terlindungi melalui program sosial, dan pelaku usaha yang mendapat manfaat dari perbaikan layanan publik.
Sementara transfer ke daerah memastikan bahwa pembangunan tidak hanya terkonsentrasi di kota-kota besar. Infrastruktur desa, layanan kesehatan daerah, hingga pendidikan dasar mendapatkan dorongan melalui dana yang mengalir hingga pelosok.
Defisit yang Terkendali: Menjaga Kompas Fiskal
Dengan pendapatan dan belanja yang telah berjalan hampir 11 bulan, APBN mencatat defisit sebesar Rp479,7 triliun, atau 2,02 persen dari PDB. Dalam skala negara sebesar Indonesia, angka ini termasuk sangat terkendali.
Bahkan, defisit ini jauh lebih rendah dibandingkan target outlook 2025 sebesar 2,78 persen PDB.
Bagi para ekonom dan pembuat kebijakan, defisit bukan hanya soal besarnya pengeluaran melebihi pendapatan. Ia adalah indikator kepercayaan, ruang fiskal, dan keberlanjutan. Semakin stabil defisit, semakin besar pula keyakinan bahwa APBN dikelola dengan disiplin dan tidak boros.
“Untuk menjaga APBN tetap efektif sebagai instrumen akselerasi pertumbuhan ekonomi, kami melakukan pemantauan detail dan langkah antisipatif di semua lini—pendapatan maupun belanja,” kata Purbaya.
Meski dunia menghadapi perlambatan, Purbaya menegaskan bahwa momentum ekonomi Indonesia tetap solid. Aktivitas lintas sektor, dari industri pengolahan hingga perdagangan dan jasa, menunjukkan tren positif.
Akselerasi belanja negara pun dipercepat menjelang akhir tahun—tradisi fiskal yang selalu menjadi pendorong signifikan bagi aktivitas ekonomi pada kuartal empat.
Di sisi lain, optimalisasi penerimaan terus dilakukan agar ruang fiskal tetap sehat, adaptif, dan siap merespons risiko yang mungkin muncul di tahun anggaran berikutnya.
APBN sebagai Penjaga Stabilitas dan Mesin Pertumbuhan
Di akhir paparannya, Purbaya menutup dengan pesan kuat tentang peran APBN. “APBN terus difungsikan sebagai instrumen utama stabilisasi dan akselerasi pertumbuhan, memastikan program prioritas berjalan efektif serta memperkuat perlindungan masyarakat di tengah dinamika ekonomi,” kata Purbaya.
Karena pada akhirnya, APBN bukan sekadar angka yang dibacakan dalam konferensi pers. Ia adalah gambaran kerja panjang negara dalam menjaga kesejahteraan rakyatnya—melalui pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, perlindungan sosial, hingga penciptaan lapangan kerja.
Angka-angka itu memberikan harapan. Harapan bahwa meski dinamika global belum sepenuhnya stabil, Indonesia tetap memiliki ruang untuk tumbuh. Bahwa APBN, dengan segala kompleksitasnya, terus menjadi instrumen yang tangguh dalam menjaga ketahanan ekonomi dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat.
Dan bahwa di tengah ketidakpastian, kerja fiskal tetap menjadi salah satu fondasi paling kokoh bagi masa depan negeri.
Purbaya juga mengungkapkan bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2025 (Q3-2025). “Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2025 mencapai 5,04 persen,” tegasnya.
Sekilas, itu hanyalah angka. Namun di dalam dunia ekonomi, satu digit desimal bisa menjadi pembeda antara optimisme dan keresahan, antara keyakinan dan kecemasan. Dan pagi itu, angka tersebut menjadi sumber optimisme baru bagi Indonesia.
Babak Baru Setelah Masa Kelam 2020
Untuk memahami arti penting 5,04 persen, kita perlu kembali sejenak ke tahun 2020. Saat pandemi melanda dan roda ekonomi berhenti mendadak, Indonesia mengalami kontraksi ekonomi pertama dalam dua dekade terakhir. Warna grafik makroekonomi mendadak berubah: pertumbuhan minus, investasi tertahan, konsumsi masyarakat melemah.
Namun hanya dalam beberapa tahun, grafik itu kembali menanjak. Bukan drastis, tapi stabil. Dari tahun 2023 hingga 2025, perekonomian Indonesia konsisten tumbuh di kisaran 5 persen. Sebuah level yang menjadi dambaan banyak negara berkembang yang masih berjuang dengan pemulihan pascapandemi.
“Ekonomi kita pulih cepat dan stabil. Indonesia cukup resilien, meski dunia masih diliputi ketidakpastian,” kata Menkeu dengan nada optimistis.
Ketidakpastian yang ia maksud bukanlah hal kecil: tensi geopolitik global, perlambatan ekonomi Tiongkok, volatilitas harga komoditas, hingga tekanan inflasi dunia. Tetapi Indonesia tetap berdiri tegak, bertahan, bahkan tumbuh.
Di sebuah pasar tradisional di Bandung, ibu-ibu tampak sibuk memilih sayuran dan pedagang kembali ramai melayani pembeli. Aktivitas seperti ini, yang terlihat sederhana dan biasa, sesungguhnya menjadi fondasi perekonomian Indonesia.
Pada triwulan III-2025, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,89 persen, sebuah indikasi bahwa daya beli masyarakat masih kuat. Aktivitas belanja, perjalanan, hiburan, dan kebutuhan pokok terus menggerakkan roda ekonomi.
Di pusat perbelanjaan, toko-toko kembali ramai; di daerah, warung makan padat oleh pekerja; pada platform digital, transaksi harian meningkat. Semua ini menunjukkan bahwa masyarakat kembali percaya diri untuk membelanjakan uang mereka—suatu indikator psikologis yang sangat penting dalam momentum pemulihan.
Di balik layar, ada kelompok lain yang diam-diam memainkan peran besar yakni para investor dan pelaku usaha. Pada triwulan III, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 5,04 persen, mencerminkan keyakinan mereka pada prospek ekonomi jangka panjang.
Mesin-mesin baru dibeli, pabrik diperluas, kantor diperbarui, dan proyek-proyek konstruksi mulai bergerak. Para pengusaha membaca arah angin: stabilitas politik, percepatan hilirisasi, dan pembangunan infrastruktur membuka peluang baru. Optimisme inilah yang membuat roda ekonomi berputar lebih cepat.
Kontras dengan banyak negara yang masih tertahan oleh lemahnya permintaan global, ekspor Indonesia justru melaju kencang dengan pertumbuhan 9,91 persen. Ini bukan sekadar karena keberuntungan.
Ada dua mesin pendorong ekspor Indonesia bisa melaju kencang, yakni Demand global terhadap komoditas strategis, dan Produk manufaktur yang mulai naik kelas—mulai dari otomotif, elektronik, hingga produk turunan nikel dan CPO.
Yang menarik, impor tumbuh lebih lambat. Ini berarti surplus perdagangan meningkat, menopang pertumbuhan ekonomi melalui net ekspor. Dalam situasi global yang rapuh, capaian ini memberi Indonesia ruang bernapas lebih panjang.
Salah satu bagian paling dramatis dari cerita ekonomi triwulan III terjadi pada sisi belanja pemerintah. Setelah dua triwulan sebelumnya mengalami kontraksi, belanja pemerintah akhirnya bangkit dan tumbuh 5,49 persen.
Perubahan ini bukan kebetulan. Pemerintah secara sadar mempercepat belanja produktif untuk mendorong pertumbuhan, terutama pada infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.
“Kalau sebelumnya belanja pemerintah cenderung ngerem, sekarang pemerintah ikut nge-gas perekonomian,” ungkap Menkeu.
Dan laju ini, menurutnya, akan terus berlanjut hingga triwulan IV, demi menjaga momentum pertumbuhan akhir tahun.
Sektor-Sektor Ekonomi Bergerak Bersama: Potret Pemulihan yang Merata
Jika dilihat dari kacamata produksi, ekonomi Indonesia menunjukkan pemulihan yang tidak timpang. Hampir semua sektor tumbuh positif, memberikan gambaran bahwa pemulihan tidak hanya terjadi di kota besar atau industri tertentu—tapi merata.
Sektor manufaktur tumbuh 5,54 persen: Fabrikasi barang kebutuhan domestik meningkat, sementara ekspor produk manufaktur turut menopang pertumbuhan. Manufaktur tumbuh stabil karena permintaan domestik dan ekspor dipengaruhi industri makanan dan minuman (Mamin) yang naik 6,49% didorong produksi CPO, logam dasar 18,62% akibat permintaan besi-baja, dan kimia-farmasi 11,65% berkat peningkatan bahan kimia.
Sektor perdagangan tumbuh 5,49 persen: Pasokan dalam negeri stabil, jaringan distribusi pulih, dan permintaan meningkat. Sektor ini tumbuh seiring meningkatnya pasokan domestik, didorong oleh naiknya perdagangan barang pertanian dan industri pengolahan serta aktivitas online dengan penggunaan kartu kredit dan uang elektronik.
Sektor transportasi melonjak 8,62 persen: Mulai dari truk-truk pengangkut barang hingga layanan logistik digital, semuanya bergerak lebih cepat. Sektor ini tumbuh sejalan dengan meningkatnya aktivitas distribusi barang dari sektor industri pengolahan dan perdagangan
Sektor Informasi dan komunikasi naik 9,65 persen: Era digital yang makin mengakar membuat permintaan internet, data, dan layanan digital terus meningkat. Sektor ini meningkat solid seiring peningkatan aktivitas
telekomunikasi, yang tercermin dari naiknya pendapatan usaha jasa telekomunikasi akibat lonjakan trafik data dan transaksi perdagangan melalui sistem elektronik.
Konstruksi stabil di 4,2 persen: Sektor ini meningkat karena didorong oleh percepatan pembangunan
infrastruktur dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). PSN menjadi lokomotif besar yang menarik banyak subsektor lain.
Pertanian tumbuh 4,93 persen: Sektor ini mengalami lonjakan signifikan dari triwulan sebelumnya. Pertanian tumbuh karena permintaan domestik dari tanaman pangan yang naik 9,94% berkat produktivitas
padi; perkebunan 4,56% didorong produksi sawit dan kopi; peternakan 6,51% akibat permintaan ayam dan telur untuk program MBG.
Program prioritas pangan mendorong produktivitas, distribusi, dan harga yang relatif stabil. Ketika semua sektor bergerak bersama, hasilnya adalah pondasi ekonomi yang lebih kokoh, bukan pertumbuhan yang rapuh.
APBN: Penyangga, Penggerak, dan Penjaga
Di balik semua angka itu, ada satu aktor yang tak boleh dilupakan: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di saat dunia dihantam ketidakpastian, APBN bertindak sebagai penyangga (shock absorber) sekaligus motor penggerak ekonomi (growth driver).
Melalui belanja yang terarah dan adaptif, pemerintah menstabilkan harga, melindungi masyarakat rentan, memperbaiki infrastruktur, dan menjaga daya beli.
Sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter pun berjalan erat. Pemerintah bekerja bersama Bank Indonesia, OJK, dan lembaga-lembaga lain untuk menjaga nilai tukar, stabilitas pasar keuangan, serta memastikan kredit tetap mengalir.
“Dengan seluruh sektor berada di zona positif, perekonomian nasional semakin solid dan terus menunjukkan ketahanan yang kuat,” tegas Menkeu.
Pertumbuhan 5,04 persen pada triwulan III bukan akhir cerita—melainkan bab baru. Tantangan masih banyak: perlambatan global, disrupsi teknologi, perubahan iklim, dan pertumbuhan kelas menengah yang menuntut layanan publik lebih baik.
Namun ada satu hal yang tampak jelas dari paparan Menkeu siang itu: Indonesia berada di jalur yang benar.
Ketika konferensi pers usai, para jurnalis kembali mengetik cepat, para analis pasar mengutak-atik grafik di laptop mereka, dan aktivitas ekonomi di luar gedung tetap berjalan seperti biasa—pedagang memanggil pembeli, truk logistik melaju di jalanan, dan pabrik terus beroperasi.
Di balik rutinitas itu, ada pergerakan besar yang tengah terjadi: sebuah ekonomi yang bangkit bersama, perlahan namun pasti, menatap masa depan dengan optimisme.












